Wednesday, September 24, 2008

Budaya Menulis Siswa

Beberapa guru bahasa Indonesia sering mengeluh mengenai rendahnya minat siswa berpartisipasi dalam perlombaan kepenulisan, seperti lomba menulis cerpen, surat, dan karya tulis ilmiah remaja, sering terdengar. Mengapa anak didik tidak mempunyai kebiasaan menulis dan bagaimana sekolah harus menumbuhkembangkannya? Mengingat, menulis merupakan salah satu kompetensi berbahasa yang dituntut dalam kurikulum.


Penyebab Budaya Menulis Tidak Berkembang


Ada anggapan keliru pada sebagian guru tentang aktivitas menulis. Anggapan itu turut menyebabkan budaya menulis pada anak didik tidak bisa berkembang. Pertama , menulis membutuhkan bakat khusus. Tentu, anggapan tersebut tidak benar. Banyak penulis yang sepakat, 90 persen kemampuan penulis dihasilkan lewat pembelajaran: latihan menulis dan latihan menulis. Hanya 10 persen yang terkait dengan faktor bakat. Itu adalah pendapat William Faulkner, penulis Amerika. Menurut Putu Wijaya, penulis Indonesia, faktor bakat berpengaruh tak lebih dari 5 persen. Itu berarti faktor bakat tidak cukup dominan mengarahkan seseorang menjadi penulis atau tidak. Justru faktor pembelajaranlah yang cukup dominan berpengaruh.


Kedua , menulis adalah kecakapan hidup yang terkait dengan kewartawanan atau jurnalistik saja. Memang benar, pekerjaan wartawan adalah mencari berita dan menulis. Tapi, kecakapan menulis tidak hanya diperlukan di bidang kewartawanan. Faktanya, hampir semua bidang kehidupan butuh kecakapan menulis.


Bayangkan, apa yang terjadi jika di sebuah institusi tidak ada yang bisa menuliskan konsep penting untuk keperluan dinamika institusi. Tentu institusi itu lamban dalam kinerja dan cepat atau lambat pasti akan lumpuh.


Kenyataannya, kecakapan menulis dibutuhkan semua bidang: birokrasi, militer, pendidikan, bisnis, industri, kesehatan, dan sebagainya. Adanya anggapan sebagian guru bahwa kecakapan menulis diperlukan hanya dalam kewartawanan bisa menyebabkan sekolah tidak serius mengembangkan kompetensi menulis. Kecakapan itu dianggap tidak penting.


Padahal, sebagai sebuah kecakapan hidup, seperti kecakapan lainnya, menulis juga bisa dipelajari. Jika seni tari, seni musik, atau olahraga bisa diajarkan dan ada gurunya, menulis pun demikian.


Anggapan salah yang ketiga, menulis merupakan tanggung jawab mata pelajaran bahasa Indonesia. Memang, selama ini tugas menulis, selain jarang diberikan, sering dianggap hanya layak pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Itu keliru. Sebab, kaidah dasar semua ilmu bisa dijelaskan dan dapat dikomunikasikan. Salah satu cara menjelaskan dan mengomunikasikannya adalah lewat tulisan.


Menumbuhkembangkan Budaya Menulis Siswa


Sebagai jenis kompetensi yang bisa dipelajari dan dibutuhkan dalam banyak bidang kehidupan, sudah seharusnya sekolah menumbuhkembangkan kompetensi menulis pada anak didiknya. Caranya?


Pertama , ajari siswa tentang penulisan ejaan bahasa Indonesia yang benar. Misalnya, penulisan huruf kapital, pemakaian tanda baca, penulisan unsur serapan, dan penggunaan kata baku atau nonbaku. Sejak dini siswa diajak melakukan hal-hal yang benar. Jangan biarkan siswa membuat kesalahan hanya karena menganggap mereka masih kecil. Perlahan tapi pasti, anak diajak dan disuruh mengetahui serta memperbaiki kesalahannya dalam menulis.


Kedua, perbanyak kosa kata dalam berbahasa dengan membiasakan membaca. Antara menulis dan membaca ibarat minyak tanah dengan pelita. Ingin menjadi penulis tanpa kesadaran membaca, tentu mustahil.


Menurut Mohammad Diponegoro, tugas penting seorang pengarang atau penulis adalah membaca. Kegiatan itu diperlukan untuk membuka diri terhadap cakrawala dan pikiran baru. Hal-hal baru itulah yang akhirnya berperan menggelitik anak didik untuk merefleksikan pandangan-pandangannya.


Memiliki banyak kosa kata akan mempermudah anak didik mengemukakan ide, pendapat, atau pengetahuan ke dalam bahasa tulis. Siswa dituntut bisa merangkai kosa kata tersebut menjadi sebuah kalimat yang bermakna. Makna itu adalah makna yang bisa dipahami pembaca, bukan sekadar bisa dipahami penulisnya.


Ketiga , membiasakan pembuatan garis-garis besar tulisan. Dengan itu, diharapkan siswa tidak melupakan bagian-bagian penting yang harus hadir dalam tulisannya.


Keempat , bekerja sama antarguru mata pelajaran. Guru mata pelajaran bahasa Indonesia bisa mengajarkan tentang penulisan sebuah karya tulis ilmiah yang baik dalam bentuk makalah yang sangat sederhana. Guru mata pelajaran lain bisa memberikan tugas kepada siswa untuk menuliskan sebuah karya tulis dalam bentuk makalah sederhana tersebut. Guru sejarah, misalnya, bisa menugaskan siswa membuat karangan tentang bagaimana terjadinya Perang Diponegoro. Guru IPA dapat menyuruh siswa menyusun karya tulis sederhana tentang budi daya jamur tiram putih. Guru matematika menugasi anak didiknya tentang aplikasi limit dan integral dalam kehidupan sehari-hari.


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penugasan seperti itu adalah (1) materi tulisan yang ditugaskan kepada siswa harus sesuai kurikulum yang berlaku. (2) Jenis dan panjang tulisan disesuaikan kesiapan, kemampuan, dan kelonggaran waktu anak didik. (3) Frekuensi penugasan hendaknya tidak terlalu sering agar tidak memberatkan anak didik, tapi juga tidak terlalu jarang.


Kelima , setiap siswa diwajibkan mempunyai buku harian. Buku harian tersebut digunakan siswa untuk menulis pengalaman atau apa saja yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dipikirkan setiap hari, terutama pengalaman yang menarik serta berkesan. Bisa juga untuk menulis puisi atau cerpen berdasar pengalaman serta hasil perenungan setiap saat.


Keenam , rangsang siswa melalui kegiatan-kegiatan perlombaan kepenulisan. Ada banyak agenda perlombaan yang diadakan setiap tahun yang bisa diikuti. Ada LKIR yang diselenggarakan Depdiknas, ada lomba menulis cerpen yang diselenggarakan Pusat Bahasa Indonesia. Belum lagi perlombaan-perlombaan menulis yang diselenggarakan komunitas-komunitas sastra seperti Dewan Kesenian Jakarta, Dewan Kesenian Surabaya, dan sejenisnya.


Bahkan, secara insidental, beberapa penerbit dan institusi nasional maupun lokal menyelenggarakan perlombaan penulisan. Guru semestinya berperan sebagai motivator dan fasilitator yang baik bagi anak didik agar mereka berpartisipasi dalam perlombaan-perlombaan seperti itu.


Ketujuh , menumbuhkan kegiatan menulis melalui kegiatan ekstrakurikuler kejurnalistikan, penulisan kreatif, karya ilmiah remaja (KIR), lewat penerbitan media, majalah sekolah, majalah dinding sekolah, atau tabloid sekolah. Bisa pula disusupkan ke dalam setiap kegiatan ekstrakurikuler yang ada.


Misalnya, anak didik yang bergabung dalam kelompok pencinta alam bisa ditugasi menuliskan pengalamannya setiap melakukan ekspedisi kepencintaalaman. Anak didik yang mengikuti ekstrakurikuler teater diwajibkan membuat naskah pementasan sendiri. Anak didik yang bergabung dalam Palang Merah Remaja diharuskan membuat artikel tentang kesehatan. Begitu seterusnya.


Kedelapan , menunjukkan contoh-contoh karangan siswa yang pernah memperoleh kejuaraan dalam perlombaan dan telah dibukukan atau dipublikasikan melalui media massa. Misalnya, puisi, cerpen, surat, artikel, atau karya tulis ilmiah. Dengan melihat contoh-contoh tersebut, siswa mempunyai gambaran yang konkret terhadap model-model tulisan yang baik.


Kesembilan , mengirimkan karangan siswa yang baik ke media massa. Bila karangan siswa bisa dimuat di media massa, siswa merasa percaya diri dan lebih bersemangat menulis. Juga, merangsang siswa lain untuk menulis.


Siapa pun percaya, tanpa ada upaya apa pun yang dilakukan sekolah untuk menumbuhkan kebiasaan menulis pada anak didik, selamanya budaya menulis tidak akan berkembang. Kalau ada satu dua anak didik yang bisa menulis, tentu karena anak didik yang bersangkutan mempunyai minat serta dorongan pribadi yang kuat dalam dunia kepenulisan, bukan karena motivasi dari sekolah. Padahal, yang diharapkan, sekolah harus bisa berperan aktif menumbuhkembangkan budaya menulis pada anak didiknya. (*)

No comments:

Post a Comment