Puisi

DUA PEREMPUAN

by liankagura

Matamu, Dinda, tak ubahnya bintang yang redup.
Berkilat di dalam gelap, tapi lemah dan kalah.

Tak seharusnya kau ranggas dalam gelisahmu. Sebab
malam ini adalah milikku. Sebab purnama dalam perutmu
harus kau keluarkan, jadikan ia cahaya, jadikan ia mengingat
kita. Dinda, sebab kau seorang perempuan.

Aku juga seorang perempuan, Dinda. Karenanya
aku ikut bela mati. Biarkan aku saja yang terbakar
mengantar suamiku ke suralaya, suamimu
kanda Abimanyu
yang perkasa.

“Dinda, kau melakukan tugasmu sebagai perempuan
dengan melahirkan keturunan suami kita, aku pun
melakukan tugasku sebagai perempuan
dengan bela mati.”

Gerimis ikut terbakar
kurusetra berpendar. Berjuta pasang mata
Dinda, matamu yang kutatap. Kutitip
seluruh cinta yang pernah kurajut dalam resah desah
napasmu. Pada basah panahpanah para ksatria dan
genderang perang esok pagi.

Dinda, laut air matamu tak kan sanggup memadamkan
api ini. Maka tutuplah hatimu. Lepaskan segala rindu
dan saksikanlah moksa diriku

kanda Abimanyu dalam dekapku
harum cempaka tubuhnya akan selalu ada
di darah perutmu.

Para dewa gegas menghampiriku
Kobar api menari di tubuhku,
tapi masih kutatap matamu, Dinda,
mata yang cemburu

Institut Merdeka, 2008
KUANYAM KOTAMU
by Lian

/1/
Kuanyam kotamu menjadi perih yang berhamburan dalam antrean panjang
orangorang bertubuh ringkih dan terbalik. Matahari tidak akan datang
untuk membedakan mana mata mana hati mereka, tapi tangan mereka menadah di depan secangkir minyak tanah dan ceceran receh yang kau jahit pada setiap sudut
dinding kantor pos. Maka bertahan hidup adalah menukar kupon. Lalu meneguk air mata
yang diseduh anak cucu mereka seperti meneguk anggur merah dengan
kehangatan yang tidak pernah pudar.

/2/
Kuanyam kotamu dengan tangan yang berkabut peluh para buruh, dengan subsidi
yang terlampau asin, dengan lumpur yang tumbuh di seluruh tubuh petani, dengan semua rasa amis yang kau rampas dari para nelayan. Nelayan yang tak lagi mengenal ikan sebab perahu mereka tidak lagi dapat dijalankan, sedang anak mereka yang botak dan buncit berlari riang di tepi pantai mengejar solar yang terus terbang. Aih, cepat nian kalian terbang. Lalu gerimis pecah di lautan.

/3/

Kuanyam kotamu melalui cerita yang dinyanyikan anakanak jalanan serta kisah para
pemulung yang mengumpulkan pepuing kehidupan di sepanjang jalan dan perapatan.
Sesungguhnya dari serakan janjimulah mereka mengais sisa mimpi, lalu dari
gelas plastik bekas air minummu di setiap kampanye dulu, lalu dari remah katakatamu yang penuh harap dan semangat itu. Di pojokan stasiun para pengemis mengupas
kulit tubuh mereka, perlahanlahan, hingga anak mereka yang paling kecil itu terlelap
diam. Dipojokan terminal para supir angkot dan biskota sedang mencukur bulan,
mengadu pada bintang. Barangkali uang setoran jadi begitu menakutkan.

/4/
Kuanyam kotamu secara diamdiam, begitu perlahan, sebab kutakut kau akan terbangun
dan mendapati wajahmu berjatuhan di selokan atau lubang galian kabel pinggir jalan, lalu kotamu, kotamu yang megah ini menjadi murung sebab cemas yang kau bacakan di seluruh POM BENSIN telah terlanjur disebarkan.

Institut Merdeka, 2008

No comments:

Post a Comment